FISIOTERAPI PADA GULLAIN BARRE SYMDROME


Pendahuluan 



Gullain Barre Syndrom yang selanjutnya disebut SGB adalah salah satu penyakit degenerasi serabut myelin saraf tulang belakang. Disebutkan juga sebagai salah satu degenerasi syaraf tepi yang serentak dan simetris. Sampai sekarang belum dapat dipastikan penyebabnya, namun karena kebanyakan kasus terjadi setelah proses infeksi, diduga SGB ini terjadi karena system kekebalan tubuh tidak berfungsi.
Gangguan yang terjadi adalah kelemahan otot (parese/hingga plegia, biasanya perlahan mulai dari bawah ke atas, jadi gejala awal biasanya tidak bisa berjalan atau gangguan berjalan. Tetapi penyembuhannya berkebalikan dengan onsetnya, yaitu dari bagian atas turun ke bawah, sehingga bila ada gejala sisa biasanya gangguan berjalan.


Meskipun orang yang terkena bisa mengalami kelumpuhan total, prognosis penyakit ini cukup bagus. Enam bulan setelah terserang, 85% dari kasus yang dilaporkan sembuh. Secara keseluruhan hanya 5% yang meninggal akibat SGB. Oleh karenanya, disamping perawatan pada tahap akut, tata laksana fisioterapi akan sangat menentukan prognosis, apakah akan ada gejala sisa atau sembuh total.



Patologi SGB
Pemeriksaan patologis pada saraf penderita, penyakit ini menunjukkan kalau terjadi proses penghancuran selaput myelin pada saraf tepi. Uniknya selaput myelin yang terserang dimulai dari saraf tepi paling bawah, terus naik ke saraf tepi yang lebih tinggi.


Fungsi selaput myelin adalah mempercepat konduksi saraf, oleh karena hancurnya selaput ini mengakibatkan keterlambatan konduksi saraf, bahkan mungkin berhenti sama sekali, sehingga penderita SGB mengalami gangguan motorik dan sensorik. Kelambatan kecepatan konduksi otot bisa dilihat dari hasil pemeriksaan EMG. Bila otot-otot pernafasan terserang, maka fungsi kardiopulmunari akan terganggu pula. Di samping itu hancurnya selaput myelin mungkin juga menyerang cranial nerves termasuk diantaranya nervus vagus, yang merupakan bagian dari system saraf otonomik. Oleh karena, itu bila saraf yang terserang cukup tinggi tingkatnya, system saraf otonom mungkin saja terganggu. 



Gejala-gejala tersebut akan terus muncul dalam waktu maksimal 2 minggu, sesudah itu akan berhenti, hingga proses penyembuhan terjadi sekitar 2 sampai 4 minggu setelah kelemahan berhenti.



Problematik Fisioterapi 
Dalam kasus SGB ini ada 4 problem yang menonjol berkaitan dengan penatalaksaan Fisioterapi yaitu:


a.  Gangguan Musculoskeletal 
Gangguan musculoskeletal yang menonjol adalah berkurangnya kekuatan otot. Kelemahan otot tersebut disebabkan oleh terhambat atau terhentinya konduksi saraf spinalis ke neuromusculojunction, yang satuannya disebut motor unit. Satu motor unit adalah beberapa serabut otot yang mendapatkan inervasi oleh satu motor neuron. Saraf yang menginervasi motor neuron berasal dari beberapa akar saraf tulang belakang, jadi bila ada satu akar saraf mengalami gangguan, maka sebagian serabut otot yang mendapat inervasi dari akar saraf lain masih mendapatkan konduksi saraf.
Gangguan motorik pada SGB diawali dengan kelemahan otot bagian bawah, mula-mula yang dirasakan kelemahan, bila berlanjut menjadi lumpuh. Kelemahan otot biasanya simetris, antara kanan dan kiri.


b. Gangguan Kardiopulmonari
  Hal yang sama juga terjadi, bila proses kerusakan selaput myelin terjadi pada tingkat akar saraf thoracal, karena akan terjadi kelemahan otot-otot pernafasan yakni: otot intercostal. Bahkan bila menyerang tingkat cervical, diafragma mengalami gangguan juga, akibatnya bahkan semakin rumit, oleh karena ekspansi dada berkurang. Hal ini berakibat berkurangnya kapasitas vital paru, kemampuan batukpun menurun, sehingga kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan menjadi berkurang.


c. Gangguan Saraf Otonomik 
 Selain gangguan kardiopulmonari, bila kerusakan selaput myelin mencapai tulang belakang tingkat thoracal, maka akan terjadi juga gangguan saraf otonom simpatik. Bila gangguan selaput myelin mencapai nervus vagus akan terjadi gangguan parasimpatik, hal ini karena saraf tepi otonom berakar dari akar saraf yang keluar dari antara tulang belakang thoracal dan nervus vagus. Gangguan yang tampak adalah naik turunnya tekanan darah, keringat yang berlebihan ataupun postural hipotensi.


d. Gangguan Sensasi
 Gangguan lain yang dirasakan pasien SGB adalah gangguan rasa (sensasi). Gangguan rasa yang dirasakan adalah kesemutan, tebal, rasa terbakar  atau nyeri. Pola penyebarannya tidak teratur dan tidak simetris, bisa berubah setiap saat. Kadangkala nyeri murni disebabkan oleh gangguan sensasi dan yang telah lama tidak digerakkan. Meskipun gangguan tersebut tidak berbahaya tetapi menimbulkan rasa tidak nyaman.


Penatalaksanaan Fisioterapi 
Penatalaksanaan fisioterapi pada pasien SGB harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Perjalanan penyakit SGB yang unik ada 2 fase yang perlu diperhatikan dalam pemberian program terapi. Yang Pertama adalah fase awal yaitu ketika gangguan masih terus berlanjut hingga berhenti, sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase ini yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Yang Kedua dalah fase lanjut atau penyembuhan ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pemberian terapi bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan pengoptimalan kemampuan fungsional pasien


a. Gangguan Musculoskeletal    
Pada fase awal diberikan program latihan aktif, hal ini bila memungkinkan. Bila pasien tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya diberikan bantuan oleh terapis (assisted aktif exercise). Bila kemudian kondisi kelemahan pasien sangat menonjol, diberikan latihan pasif.
Exercise diberikan secara sistematis, dari anggota tubuh yang lemah, diakhiri pada anggota tubuh yang kuat, gerakan dilakukan sesuai dengan luas gerak sendi normal. Dalam melakukan exercise, pasien dilarang terlalu berlebihan, karena justru akan merusak motor unit yang dilatih, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas.


b.  Gangguan Kardiopulmonari
 Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital paru, maka pertukaran gas dalam alveoli meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Dengan demikian bila kekuatan otot intercostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang. 
 Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator atau manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, maka latihan aktif harus segera diberikan. Latihan aktif berupa latihan nafas melalui dada dan perut serta latihan batuk yang berguna untuk mengeluarkan sekresi yang menumpuk dalam paru dan saluran nafas. Apabila pasien belum mampu batuk, dalam mengeluarkan sekresi dapat dibantu dengan ventilator atau manual hyperinflation yang diatur dengan teknik tertentu, di mana panjang ekspirasi diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran nafas bisa dikeluarkan.


c.  Gangguan Saraf Otonomik 
Gangguan saraf otonomik perlu dicermati dalam melakukan tindakan fisioterapi. Pada waktu mobilisasi misalnya, dari berbaring ke duduk, tubuh perlu adaptasi oleh karena terjadi perbedaan pengaruh gravitasi terhadap tubuh, tanpa gangguan saraf otonomikpun seseorang yang berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah meningkat atas pengaruh saraf otonom. Pada saat latihan harus dicermati kemampuan komunikasi pasien atau warna muka sebagai indicator tekanan darah


d. Gangguan Sensasi
 Problem sensasi pada pasien SGB yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar dan rasa kesemutan. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TENS (Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation).
Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi yaitu decubitus. Karena rasa tebal menyebabkan pasien tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga terjadi lecet dan akhirnya menjadi luka decubitus. Untuk menghindari hal tersebut harus dilakukan perubahan posisi saat pasien bed rest secara berkala (periodik) .***        


(Oleh: Oleh : Budi Setyawan, SSTFT / dimuat di Majalah Kasih edisi 15) 


Categories:

Leave a Reply

Ads

Irawan Triwibowo. Powered by Blogger.